Tanggal 13 Sepetember 2014 adalah sebuah hari yang dimana buku tebalku bertambah satu halaman, bukan halaman biasa, tapi halaman ini penuh dengan warna dan nyanyian-nyanyian merdu. Yup, pada tanggal itu, aku melakukan sebuah pendakian di gunung Papandayan, perjalanan panjang yang penuh dengan tawa sahabat, perjuangan bersama dan ajaran-ajaran indah tentang kehidupan. Bak malamnya Sinderella di istana Pangeran, pendakian itu penuh dengan keajaiban.
Petualanganku bermula dari Bandung menggunakan sepeda motor, menyusuri jalanan kota Garut yang penuh dengan tanjakan dan belokan. Kaya ular dong?, ya sepertinya mirip. Tidak lupa pula, mobil-mobil besar ikut menguji sehebat apa kau dalam mengendalikan kuda besi. Setelah puas bergelut dengan belokan-belokan tajam, tanjakan-tanjakan yang membuat motorku kelelahan dan kebut-kebutan dengan mobil-mobil besar, akhirnya aku dan teman-teman sampai di Camp David, pintu masuk gunung Papandayan.
Bagiku sendiri camp David adalah ucapan selamat datang yang sangat anggun, pemandangan berwarna hijau terlihat mendominasi dan kabut lembut pun telah menerpa wajah manisku. Manis?, ya, sangking manisnya, setiap bangun tidur, semut-semut sudah nongkrong bengong meng-gembrong (mengerumuni) wajahku. Terkadang, wajah manis ini terasa sangat menyiksa. Oh tuhan. Eh iya, buat pembaca jangan sampai ngiri ya.
Cukup membahas tentang wajah manis. Setelah melakukan breefing dan mengecek lagi peralatan mendaki, akhirnya kita mengucap bismillah, tanda petualangan siap dimulai. Aje gile, baru berjalan sekitar 10 menit, penglihatan dan perasaanku sudah tersentak oleh sebarisan kawah yang di dalamnya terdapat lubang-lubang magma besar, maupun kecil, yang mengeluarkan asap/uap air hingga mengeluarkan berbagai suara unik. Keren banget deh.
"Awas tuh ada raksasa lagi ngeroko", ujar temanku yang bernama Deden
"Dikasih kopi, bakalan seneng banget tuh raksasa", ujarku menyahut candaan Deden
Kami pun tertawa bersama, sebagian tertawa karena candaan Deden memang lucu, sebagiannya tertawa karena hanya ikut-ikutan yang lain.
Sang Leader, Bilal |
Menurut Juned, pemandangan cantik nan mengagumkan komplek kawah Papandayan terlalu sayang bila dilewatkan begitu saja tanpa menyeduh kopi dan menyalakan sebatang rokok (Dasar pendaki asap, banyak saja alasannya). Kami pun duduk sebentar menikmati segelas kopi panas sambil menikmati hisapan rokok Magnum yang bercampur dengan bau belerang. Nikmat sekaligus menyiksa paru-paru, jahat sekali, layaknya perlakuan Rangga kepada Cinta dalam film AADC 2.
Beranjak dari penyiksaan paru-paru, kami sadar bahwa perjalanan ini masih sangat panjang, menghela nafas dan melangkahkan kaki dengan semangat, bukan karena ingin segera sampai di puncak, tapi kami sudah tidak tahan dengan bau belerang yang super duper tajam menelusuk lewat hidung, melewati bulu-bulu hidung yang halus dan menusuk-nusuk paru-paru kami.
Astaga! ada apa dengan motor-motor trail ini?. Masuk jalur pendakian, suara kenalpotnya mengganggu pendengaran dan jalur pun rusak setelah motor-motor itu melewatinya. Please men, kami sama dengan yang lainnya, datang ke sini, membiarkan baju kotor, badan kelelahan dan membiarkan wajah kami berubah warna menjadi lebih gelap, itu semua untuk menjauhi dunia pengap, suara jalan aspal riuh, hingarnya kota dan kami mengidamkan ketenangan dalam pelukan alam. Nah ini?, mengesalkan sekali.
"Sudah, jangan ambil pusing, bukankah mereka seperti kita?, sama-sama sedang menyalurkan hobi?." Cetus Bilal merespon obrolan kami tentang sepeda motor yang memasuki jalur
"Tapi kan ga musti di sini Lal, masih banyak tempat-tempat lain yang lebih enak untuk ofroad." Timbal Mahfudz mengomentari
"Selagi mereka masih menghargai para pejalan kaki, kita pun harus menghargai mereka." Ucap Hari yang tiba-tiba menjadi lebih dewasa beberapa tahun dari biasanya
"Okelah kalau begitu." Sambar Deden dengan nada dan raut muka yang sangat lucu, mungkin lebih lucu dari film Mak Ijah Pengen Naik Haji
Saya: Hahahaha (ketawa teruuuuuuuus sampai mampus)
Setelah berjalan jauh, keringat pun tak kuasa untuk tidak keluar dari lubang pori-pori, nafas seakan mau putus (Lebay amat). Berbarengan dengan sampainya kami di pos gober hut, air hujan pun tanpa malu turun berbarengan dari langit yang luas nan jauh itu. Akhirnya, Bilal yang bertindak sebagai leader perjalanan memutuskan untuk mendirikan tenda di sana. Hal yang kami tidak ketahui, bahwa keputusan itu adalah awal dari tragedi yang takan pernah kami lupakan seumur hidup.
Hari sudah mulai gelap, hujan pun reda dan bintang-bintang mulai melaksanakan tugasnya, yakni menghiasi langit yang mungkin kesepian. Masak-masak, ketawa-ketiwi, main kartu dan ritual penutup, curhat bersama. Deden, cerita tentang kehidupannya, tidak lupa juga, dia memasukan bumbu luconannya yang lucu tiada tanding. Misal, saat dia keluar dari kerjaannya, bukan karena dia yang dipecat, tapi bos yang dipecat olehnya. Terus siapa yang mau meng-gajihnya?, tidak ada, akhirnya dia mengundurkan diri.
Dan Hari, tentang percintaannya yang tiada ujung. Rijal, tentang mantannya yang terus menerus menguasai alam bawah sadarnya. Juned, tentang kesendiriannya (Jomblo), seakan terkena kutukan, tidak kunjung datang juga jodoh yang dijanjikan tuhan. Bilal, tentang pekerjaannya. Mahfudz, tentang rumah tangganya. Dan aku, tentang rasa malas yang menghalangiku dari impian menjadi blogger sukses. Lampu pun dimatikan, kami pun melintasi alam, menuju alam mimpi.
Sekitar jam 2 malam, sayup-sayup terdengar suara riuh dari sebrang hutan, suara-suara itu perlahan semakin jelas, aku pun terbangun, terlihat Rijal sedang mengintip ke luar tenda.
Saya: Ada apa jal?, berisik amat di luar?
Rijal: ada Omen (Babi Hutan) besar san, dua ekor, keduanya besar-besar pula
Saya: Sekarang, mana Omennya?
Rijal: Itu tuh, tangannya sambil menunjuk ke arah luar
Aku pun ikut mengintip, memang sekitar 1 meter dari tenda, babi hutan berwarna putih besar, mungkin setinggi anak berumur 7 tahun, sedang mengendus-endus tanah bekas makan bersama tadi.
Saya: Mana satunya?
Rijal: Lagi di Pondok Saladah kali, makannya di sana ribut banget
Juned bangun juga, saat itu teman setendaku memang Juned, Rijal dan Deden. "Ada apa broo?
"Noh!" ucapku sambil menunjuk Omen
"Gede banget broo," tandas Juned
Entah Juned mendapat ide dari mana, dia mengeluarkan HP-nya, hendak memotret Omen. Cekreeeek, berbarengan dengan lampu flash menampar wajah Omen yang seketika mengamuk tenda kami.
Saya : G#*%&OOOOK
Deden terbangun dengan terkejut, "Astagfirullah!, sahutnya
Kerusuhan terjadi, omen mengobrak-ngabrik tenda, kami ber-empat terjebak dalam tenda, berusaha meloloskan diri. Setelah 2 menit berada dalam kepanikan, akhirnya bantuan datang dari teman-teman lainnya, berusaha mengusir Omen dengan teriakan dan lampu senter yang disorotkan. Kerusuhan pun selesai dengan menyisakan kerusakan satu buah tenda yang semerawut.
Bak masih memiliki dendam, Omen masih berkeliaran di area kami bertenda, malah bertambah, Omen berwarna hitam pun sekarang hadir. Rasanya pengen cepet-cepet pagi, karena, setelah kejadian itu, kami semua tidak bisa tidur kembali. Bayang-bayang akan ancaman Omen masih jelas terasa. Sialnya, kami tidak bisa membuat api unggun, ranting-ranting yang kami kumpulkan semuanya basah akibat hujan yang terjadi tadi sore.
Akhirnya, setelah malam yang panjang. Pagi pun tiba, matahari mulai menampakan cahanya. Bahagia bukan kepalang, terlepas dari bayang-bayang menyebalkan tentang ancaman Babi Hutan Papandayan. Aku pun ke warung untuk membeli kopi, di tengah aktifitas jual beli dengan si ibu warung, aku sempat menceritakan kejadian semalam kepadanya.
Ibu warung malah tersenyum, sambil berucap, kurang lebih seperti ini,
"Di sini, sebetulnya ada 3 ekor babi hutan, 2 ekor berwarna hitam dan 1 ekor berwarna putih. Dulu warung ibu pun pernah menjadi sasaran babi hutan itu, setengah makanan di warung ludes dalam waktu satu malam, gara-garanya si bapa (Suaminya), pada siang hari menegetepel tubuh si omen dengan kerikil kecil. Iseng."
"Oh, jadi Babi Hutan itu punya sifat pedendam ya bu?," tanya saya
"Iya, waktu diketepel pun dia hanya menengok sedikit ke arah si bapa, eh taunya pada malam hari dia membalas dendam." Jawab ibu warung
"Terus kenapa Omen semalem marah waktu difoto sama temen saya bu? apa mungkin dia hanya terkejut oleh lampu flash-nya bu?," tanya saya lagi
"Iya mungkin, sebetulnya, Babi Hutan di sini pada jinak, mereka sudah terbiasa dengan keberadaan manusia, mereka tidak akan menyerang kalau kita tidak mengganggu mereka." Timbal ibu warung
"HAH, JINAK??," Tanya saya dalam hati
2 gelas kopi panas pun tersaji, pertanda obrolan dengan ibu warung harus berakhir dan aku pun bergegas kembali kepada teman-temanku. Ngopi teruuuus.
Sesaat setelah menikmati segelas kopi pertama di pagi hari, setelah merapihkan barang bawaan dan menutup tenda rapat-rapat, kami pun melanjutkan perjalanan ini, jalanan berupa hamparan tanah becek pun menjadi santapan dalam perjalanan menuju Pondok Saladah. Hal yang membuat saya sedikit menyesal adalah, nyatanya Pondok Saladah adalah tempat camp ideal, di sana luas, pemandangan lebih indah dan pendaki cantik banyak berkeliaran di Pondok Saladah.
Tidak lama beristirahat di Pondok Saladah, kami melanjutkan perjalanan, hingga akhirnya kami sampai di tempat agak seram, terkenal di dunia Instagram. Yup, tempat itu adalah Hutan Mati. Ini dia fotoku di Hutan Mati,
Eh salah. Itu mah foto adikku
Ini yang benar
Bagiku sendiri, hutan mati adalah tempat yang penuh keajaiban, lihat saja sebarisan pohon itu, meskipun sudah hangus di makan api (yang kesurupan), tapi pohon-pohon itu masih tetap tegar berdiri dan malah menghasilkan suasana yang khas banget. Menjadikan tempat itu begitu istimewa, membawaku kepada rasa kekaguman, betapa kuasanya tuhan atas setiap makhluknya.
Selepas dari hutan mati yang bisa membuat merinding disko, kami berderap menuju tanah yang lebih tinggi. Entah salah jalur atau memang tracknya seperti ini, ko sadis banget ya. Jalannya licin, tanjakannya memiliki kemiringan yang tidak bisa dianggap remeh. Jadi berasa tanjakan Roheng di Cikuray. Air mata pun meleleh (Maafkan ke-lebay-anku ini yang sebenarnya tidak pernah terjadi.) saat disiksa tanjakan menuju Tegal Alun .
Horeee, waktunya ber-seleberasi. Kami sampai di tempat tujuan, kami sampai di tempat yang luas nan indah, tempat dimana kamu bisa menyantap hamparan luas bunga Edelweis, kami sampai di Tegal Alun bersama-sama.
Akhirnya perjuangan ini selesai. Kenapa saya tidak menceritakan perjalanan turun dan pulang ke rumah?, karena perjalanannya biasa saja, tidak ada yang istimewa.
Hari |
Catatan: Mohon maaf apabila saya tidak bisa memberikan referensi masalah biaya, karena akhir-akhir ini, kabar berhembus, bahwa biaya gunung Papandayan berubah sangat pesat, jadi mahal.
Tips Mendaki Gunung Papandayan
1. Jangan Lupa Bawa Masker
Sebagaimana cerita saya di atas, bau belerang adalah ucapan selamat datang dari komplek kawah yang berada di gunung Papandayan. Keberadaan masker akan sangat membantu pernafasanmu saat kamu berada di sana.
2. Mengetahui Tips Agar Kamu Terhindar Dari Serangan Babi Hutan
Kamu gak mau kan bernasib seperti saya?, oleh makannya itu, sebelum melakukan pendakian ke gunung Papandayan, kamu wajib baca artikel ini.
3. Tempat Paling Ideal Untuk Mendirikan Tenda Adalah Pondok Saladah
Usahakanlah, apabila kamu mendaki gunung Papandayan, hendaknya kamu mendirikan tenda di Pondok Saladah, alasannya sudah saya sampaikan dalam cerita tadi.
4. Bawa Uang yang Berlebih
Karena gunung Papandayan sekarang terkenal dengan tarif mahalnya, maka membawa uang berlebih adalah solusi paling kongkrit.
Kekurangan Gunung Papandayan
1. Motor trail yang sering masuk jalur pendakian
2. Banyak warung, membuat nafsu jajan tidak terkondisikan
3. Kehadiran Omen yang sering mengancam
Kelebihan Gunung Papandayan
1. Banyak spot cantik yang bakalan membuatmu terkagum-kagum
2. Fasilitas yang sudah lebih dari cukup, seperti toilet umum dan jajaran warung
3. Track-nya tidak terlalu terjal, cocok banget buat pendakian pertamamu