Home »
Perjalanan
» Gunung Guntur, Malam Paling Menyebalkan Sepanjang Hidupku
Gunung Guntur, Malam Paling Menyebalkan Sepanjang Hidupku
Gunung Guntur, bagi saya adalah sebuah gunung yang sangat mematikan, pasalnya, saya hampir mati konyol menjadi korban keganasan hipotermia saat melakukan pendakian di gunung tersebut. Hipotermia salah satu ancaman terbesar untuk para pendaki gunung.
Saat itu, sesaat setelah musim hujan berganti ke musim panas, hujan sudah sedikit lama tidak turun. Ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan sebuah pendakian, udara di gunung pasti sejuk dan warna hijau dari dedaunan bisa menjadi santapan lezat untuk mata, pikir saya waktu itu.
Saya pun berfikir untuk mengajak dua teman saya yang memang saya sering melakukan pendakian dengan mereka, terasa solid apabila mendaki dengan mereka, Hadi dan Rifki. Bagaimana kalo minggu depan kita mendaki gunung Guntur, ajak saya. Mereka pun menerima ajakan saya tersebut.
Satu minggu sebelum mendaki, kami menyiapkan segala perlengkapan untuk mendaki dan mencari tahu informasi tentang gunung Guntur, hasil dari pekerjaan kami selama satu minggu adalah menetapkan bahwa jalur yang akan kami pakai adalah jalur Curug Citiis dan kami belum punya tenda. Akhirnya kami memutuskan untuk menyewa tenda nanti di wilayah Garut.
Satu minggu kemudian, kami pun berangkat dari Bandung menuju kampung Citiis, sampai basecamp gunung Guntur pada jam 9 pagi dan kami belum menemukan tenda karena setiap tempat yang menyediakan sewa peralatan outdor kehabisan tenda, memang waktu itu sedang musim libur.
Pada jam 11 kami baru menemukan tenda dengan menyewanya di basecamp Umi Tati, itu pun dengan sedikit memaksa, karena sebetulnya basecamp Umi Tati tidak menyewakan tenda.
Setelah shalat dzuhur, kami memutuskan untuk memulai perjalanan, start, di awal perjalanan saya melihat pemandangan indah khas gunung berapi, track pasir bercampur kerikil dan tanah, batu-batuan menjulang tinggi, udara segar masuk dalam paru-paru, semua pemandangan sangat menakjubkan ditambah kehangatan persahabatan yang diwarnai dengan bercanda sepanjang jalan.
Namun ada satu hal yang mengganggu suasana menyenangkan tersebut, cuaca mulai mendung, matahari seakan malu memperlihatkan dirinya kepada kami, dia bersembunyi di balik awan yang berwarna hitam kelabu. Terlihat perubahan raut di wajah 2 teman saya.
Rifki: Gimana brader cuaca mulai gila nih?,
Hadi: Kirain sudah musim panas, mana ane gak bawa jas lagi.
Saya: Parah, bener-bener parah, kita gak bawa perlengkapan untuk mendaki di musim hujan.
Hadi: Mudah-mudahan gak turun hujan brader.
Rifki: ya, semoga saja.
Kami meneruskan perjalan seakan tidak memperdulikan keadaan langit yang menyemburkan beberapa kilat, namun dalam hati, saya berfikir, hanya tenda yang bisa menyelamatkan kami dari guyuran hujan, semoga saja hujan tidak turun.
Setelah melewati track berpasir yang bercampur tanah, kami dihadapkan dengan track batu yang terjal, saya dipaksa menjadi semacam komodo, merayap untuk melewati track batu tersebut.
Saat kami bersusah payah, sedang menjadi segerombolan komodo di track batu tersebut, sial, hujan turun langsung deras sekali, batu menjadi sangat licin dan ada seorang pendaki yang sedang turun, yang berpapasan dengan kami, dia tergelincir dan terjatuh, untung saja kami semua yang berada di sana sigap langsung menangkap pendaki tersebut.
Saya: Sial, alam lagi gak ramah nih sama kita.
Hadi: Iya nih, gimana, kita turun lagi atau lanjut naik?, kita tidak bisa mendirikan tenda di sini karena tidak ada area tanah yang cukup luas.
Rifki: Brader, mending kita lanjutin aja, sayang udah jauh-jauh ke sini.
Saya: Ya udah, lanjut.
Hadi: Oke.
Dalam keadaan seperti itu, hujan deras dan track sangat licin, kami terus berusaha mendaki, tujuannya hanya satu, yakni mencari area tanah yang cukup luas untuk mendirikan satu tenda. Do'a saya pun hanya satu kala itu, semoga air hujan tidak masuk ke dalam carrier.
Dikarenakan kami berfikir saat itu sudah memasuki musim panas, dalam pendakian itu, tidak ada satu orang pun dari kami yang membawa jas hujan atau body pack, kami hanya membawa satu trashbag yang dipakai untuk melindungi carrier Rifki, karena di dalam carriernya ada kompor dan tenda.
Seolah alam mendengar permohonan kami, hujan pun berhenti dan matahari mulai berani menampakkan dirinya. Bersyukur sekali, hal itu berbarengan dengan sampainya perjalanan kami di pos 3, di mana kita bisa mendirikan tenda. Asiiik.
Duduk-duduk sejenak supaya tubuh kami relaks, berniat untuk mendirikan tenda, namun tenda yang kami bawa keadaannya rusak, tidak bisa didirikan karena besi panjangnya hanya ada satu, belum sempat mengganti baju yang basah.
Hari sudah memasuki sore, kira-kira pukul 16:00.
Hadi: Kacau!.
Saya: Gimana nih?.
Rifki: Ane coba nyari tihang dulu, sambil berjalan ke arah pos volunteer.
Hadi: Mau ane temenin gak?,
Rifki: Gak usah brader.
Akhirnya Rifki kembali dari pencariannya dengan hasil membawa 2 tihang dari ranting pohon, hasilnya tenda didirikan menyerupai tenda bivak, namun ini bukan tenda bivak ini tenda dome yang dipaksa menjadi bivak, keadaannya sungguh sangat mengkhawatirkan.
Segera mengganti baju dan celana, keadaan baju di dalam carrier lumayan kering, meskipun sedikit lembab. Waktunya makan, kami makan dengan sangat lahap, mungkin karena cuaca yang dingin dan perjalanan menyusuri track membuat perut kami keroncongan.
Hari semakin sore, mungkin jam setengah enam, kabut turun perlahan menerpa wajah kami, indah sekali, seperti pemandangan lembah mandalawangi, kami tersenyum dan tidak bisa mengambil foto karena ternyata kamera satu-satunya Hadi kehujanan hingga rusak total.
Rifki: Sayang banget padahal pemandangan kaya gini sulit didapatkan.
Hadi: Mau gimana lagi, kamera ane rusak gara-gara kehujanan.
Rifki: Padahal tadi disimpannya di carrier ane brader.
Hadi: Lupa ane.
Saya Senyum aja karena sangat menikmati pemandangan kabut di pos 3 Guntur.
Saat kami menikmati pemandangan kabut indah itu, hujan langsung turun besar sekali, lebih besar dari hujan yang tadi. Sontak kami langsung masuk dalam tenda yang mengkhawatirkan itu, namun air hujan tetap bisa masuk ke dalam tenda. Sial.
Akibatnya, otomatis semua pakaian yang kami bawa basah dan hanya selembar sarung yang masih ada dalam carrier, mudah-mudahan masih tetap kering. Mimpi apa tadi malam, dalam keadaan basah kuyup, hujan terus mengguyur sampai larut malam.
Kira-kira jam 9 malam hujan reda. Keadaan kami?, kebasahan, merasa sangat dingin dan segera melepas pakaian dan hanya menggunakan sehelai sarung untuk menutupi tubuh. Dari jam 9 malam, dimulailah pengalaman yang tidak akan saya lupakan seumur hidup.
Sepanjang malam itu, saya hanya bisa merintih di dalam sehelai sarung. Rasa dingin yang amat sangat dan pusing di kepala memaksa saya untuk tetap terjaga semalaman, nikmat sekali melihat Rifki dan Hadi tidur lelap, mungkin mereka sedang bermimpi indah.
Rasa pusing itu mungkin membuat saya berhalusinasi (atau bermimpi?) tentang sebuah kondisi yang sangat ramai, bising sekali di telinga, seakan di luar tenda adalah pasar, suaranya tidak karuan, membuat saya jengkel.
Akhirnya, Rifki dan Hadi terbangun, mungkin karena mendengar rintihan saya, mereka bercerita bahwa saya bergumam tidak karuan dan berbicara ngawur. Langsung saja mereka memeluk saya, awalnya saya menolak, namun rasa dingin membuat saya menerima pelukan mereka. Malam terus berlanjut, waktu terus berjalan.
Dalam pelukan mereka berdua, angin dingin masih saja menyiksa saya, rasanya sudah tidak tahan, badan saya pun berhenti menggigil, mungkin tubuh saya sudah tidak tahan lagi untuk sekedar menggigil saja.
Jangan sampai tertidur!, jerit saya waktu itu di dalam hati.
Dalam penderitaan dan lamunan, saya teringat sebuah berita tentang kematian seorang pendaki di gunung Slamet. Kisahnya seperti yang sedang saya alami saat ini, pendaki itu tertidur dan keesokan harinya sudah diberitakan meninggal dunia.
Astafirullahal adzim, ya Allah jangan kau matikan aku dalam keadaan seperti ini, aku masih ingin bertemu dengan kedua orang tuaku. Aku tidak ingin mati di gunung. Ya Allah, ya Allah, amin, do'aku dalam hati yang kuucapkan berulang kali.
Rifki: Brader, brader, brader, bangun brader, sadar, sadar.
Hadi menepuk-nepuk pipiku sambil memanggil-manggil namaku, pagi sebentar lagi, matahari sebentar lagi muncul, kamu bisa menghangatkan tubuhmu dengan sinar matahari nanti, bertahan Pik.
Kritis sekali keadaan malam itu, cerita Hadi seuasai turun. Kompor tidak menyala, tidak bisa menghangatkan air, sleeping bag kebasahan, tidak bisa memasukkanku ke dalam sleeping bag, alat penghangat hanya ada 3 helai sarung dan pelukan sahabat-sahabat saya.
Saat itu, yang terbayang oleh saya hanya wajah kedua orang tua, ya Allah aku masih ingin melihat wajah kedua orang tuaku, ya Allah aku masih ingin menyenangkan mereka, saya terus berteriak seperti itu. Hingga akhirnya saya bisa tertidur.
Pagi hari, sekitar jam 7 pagi, matahari sudah terbit untuk melaksanakan tugasnya menyinari bumi, saya dibangunkan oleh kedua sahabat saya. Pik bangun, Pik bangun, Pik bangun. Akhirnya saya bangun dan berjemur di bawah sinar matahari.
Sekarang, rasa pusing semalam pun yang hebat dan amat menyiksa sudah sedikit hilang, kepala sudah sedikit segar. Meskipun puncak sudah dekat, tinggal berjalan dalam hitungan tidak lebih dari satu jam, namun dua orang sahabat saya memaksa saya untuk turun kembali ke bawah. Walaupun tidak mendapatkan puncak, saya tetap bersyukur karena bisa selamat dari malam yang mematikan itu.
Baca juga: kisah meninggalnya Soe Hok Gie di puncak Mahameru.
Sahabat pendaki, sumber cerita di atas adalah sahabat saya yang benar mengalami dan dengan senang hati mau berbagi ceritanya kepada saya. Bang Opik namanya, asal Bandung.
Bila kamu berkenan untuk membagikan cerita seru, menyeramkan dan mematikanmu kepada saya, untuk saya bagikan kembali melalui blog Basecamp Para Pendaki ini, kamu bisa mengirimkannya lewat Email atau pesan ke Facebook saya.
Semoga bermanfaat dan salam lestari.
No comments:
Post a Comment